ContohTeks Ulasan Novel. Identitas. Judul novel: Dunia Cecilia ( Through a Glass, Darkly) Penulis: Jostein Gaarder. Jenis buku: Fiksi. Penerbit: Phoenix House, London, 1996. Orientasi. Dunia Cecilia adalah novel karya Jostein Gaarder yang merupakan penulis novel filsafat terlaris Dunia Shopie. Dunia Cecilia mengisahkan petualangan seorang
Matahari(bumi series #3) isbn 9786020332116 penulis tere liye penerbit gramedia pustaka utama, 2016 halaman 390 berkas pd. Matahari adalah sebuah novel karya tere liye, novel ini adalah bagian ketiga dari seri bumi/serial dunia paralel.diterbitkan pertama kali oleh gramedia pustaka utama tahun 2016. Itulah jeritan para penggemar seri novel
DanangFebriansyah, resensi dan cerpennya telah dimuat dalam berbagai media massa. Belajar menulis di FLP Solo, Sastra Alit Solo dan #KampusFiksi Jogja. Buku kumpulan puisinya terbit Agustus 2018 dengan judul “Hujan Turun di Desa”. Kini tergabung dalam FLP Wonogiri dan Forum Taman Baca Masyarakat (FTBM) Kab. Wonogiri.
Vay Tiền Trả Góp Theo Tháng Chỉ Cần Cmnd. Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Tak Ada yang Lebih Tabah dari Hujan Bulan JuniSapardi Djoko DamonoOleh Ardita Da'imah Cahyani XI-RAWK Novel karya Sapardi Djoko Damono ini menceritakan tentang kisah kasih Sarwono dan Pingkan. Sarwono adalah dosen Antropolog, Universitas Indonesia, sedangkan Pingkan merupakan dosen dari jurusan Sastra Jepang. Pingkan adalah wanita blasteran Menado dan Jawa, sedangkan Sarwono adalah lelaki Solo tulen. Pemilihan tema dalam novel ini adalah cinta beda agama. Meskipun begitu novel ini memberikan suatu pembelajaran tentang toleransi antar suku dan umat yang beragama terbukti dalam penggalan berikut, "...seruan pengkhotbah untuk tidak memanfaatkan agama sebagai alat untuk mencapai appaun,.. itu menjadi dasar keyakinannya sebagai orang yang harus menghargai keyakinan orang lain.." latar tempat dalam novel ini pun cukup menarik seperti di UI sebagai kampus dimana mereka mengasa pendidikan, ".. atas perintah Kaprodinya di FISIP-UI" Hal. 01. Universitas Indonesia UI adalah tempat Sarwono dan Pingkan sang perantau menuntut ilmu dan bekerja sebagai Prodi. Hubungan mereka sebenarnya bisa dikatakan sebagai incest satu universitas, namun berbeda fakultas. Selain itu gambaran tentang Ibu Kota Jakarta pun tak ketinggalan ikut andil menjadi bagian yang cukup penting, karena Jakarta adalah tempat Sarwono dan Pingkan mengenal kerasnya hidup dan berbagi kasih seperti kata Sarwono, " Masuk Jakarta lagi, masuk kemacetan lagi, masuk asap knalpot, masuk hutan belantara motor yang semakin lama semakin terasa sebagai dilemma." Hal. 61. Itulah cara khas Sarwono dalam menyampaikan kebahagiaan nya berada di Jakarta, karena di dalam novel ini Sarwono menganggap Jakarta itu kasih sayang seperti halnya Solo. Latar waktu yakni pada tahun 2014-2015. Namun dalam novel ini tidak tergambarkan dengan jelas latar waktu pada tahun tersebut, kebanyakan cerita di novel ini terjadi pada pagi hari, "Sudah pukul 9, toko-toko mulai berbenah. Hujan belum juga sepenuhnya berhenti." bab awal, Sarwono merasa gembira karena tiga puisinya dimuat di sebuah koran bernama Swara Keyakinan. Sarwono adalah sosok pekerja keras yang lebih suka mengekspresikan perasaannya di sela-sela larik sajaknya, karena baginya rasa adalah momen yang perlu diabadikan melalui tulisan agar masih tinggal meskipun sudah terlewatkan. "Dan memang benar. Ada puisinya di koran, tiga buah, di sudut halaman yang pasti kalah meriah dibanding berita politik....." Penggalan tersebut menunjukkan penggunaan alur campuran dalam novel ini yang dimulai langsung dari tahap Sarwono menerbitkan puisinya yang ditujukan untuk Pingkan nan jauh di Kyoto. Pada bab dua, novel ini menceritakan tentang kisah Sarwono dan Pingkan dimulai yakni saat mereka pertama kali bertemu, "Ketika pertama kali mengenalnya di rumah Toar Pelenkahu,.. Sarwono langsung merasa dirinya menjadi tokoh utama sebuah sinetron dan adik Toar itu...."Hal 11. Pada kutipan tersebut jelas menggambarkan titik mulai dari kisah perjalanan mereka berawal dari sana. Setiap kehidupan memiliki ujian dan likuan hidup, Sarwono dan Pingkan pun tak kalah dalam memeranginya. Terlebih mereka adalah karakter yang diciptakan sangat berbeda dilihat dari kota, budaya, suku, bahkan agama. Namun di bab dua ini, sosok Sarwono dan Pingkan digambarkan tidak mempersoalkan perbedaan agama dan saling mencintai satu sama lain seperti apa yang dikatakan oleh Sarwono, " Kitab boleh berbeda. Tetapi kenyataannya...boleh dibilang sama." Selain itu tanggapan Pingkan ketika ditanya Benny mengenai kelanjutan hubungannya dengan lelaki jawa itu tak kalah serius nya, "Memangnya kenapa kalau aku pakai jilbab?" Pada penggalan tersebut dapat dikatakan bahwa Pingkan adalah wanita yang teguh pada pendirian, bahkan ia bisa dibilang sudah memiliki rencana meninggalkan keyakinannya jika Sarwono meminta. Dua penggalan percakapan tersebut telah menunjukkan bahwa perbedaan tak bisa menghentikan tekad mereka dalam menggapai cinta dan cita untuk bersama. Sebenarnya permasalahan tentang beda agama dan suku ini dipermasalahkan oleh keluarga Pingkan. Mereka sering menanyakan kelanjutan hubungan Pingkan dan Sarwono yang terkadang sedikit menyudutkan Pingkan. 1 2 Lihat Fiksiana Selengkapnya
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. "Kami ini Jawa bukan, Manado tidak lagi," kata Toar, kakak Pingkan. Sarwono menimpali, "...Kalian berdua itu Indonesia Raya".Kisah percintaan banyak disuka. Ramuan kisah romantis bisa dari mana saja. Di Indonesia, bumbu kisah percintaan bisa berasal dari perbedaan suku bangsa. Beda suku juga biasanya menyangkut perbedaan kultur dan agama. Isu inilah yang diangkat dari novel "Hujan Bulan Juni" karya sastrawan terkenal, Sapardi Djoko Damono. Novel ini telah difilmkan tahun 2017 dibintangi Adipati Dolken dan Velove Vexia. Apabila Kalian merasa tak asing dengan judul novel dan film ini maka Kalian tak salah. Novel ini terinspirasi dari puisi yang juga berjudul sama dari pengarang yang juga sama, "Hujan Bulan Juni". Puisi ini merupakan salah satu dari kumpulan puisi yang dirilis tahun 1994 oleh Grasindo. "Hujan Bulan Juni" lalu dipilih menjadi judul kumpulan puisi ada yang lebih tabah dari hujan bulan Junidirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga ituTak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Junidihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan ituTak ada yang lebih arif dari hujan bulan Junidibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu Saat ini telah memasuki minggu-minggu terakhir bulan Juni, bulan yang seharusnya sudah masuk musim kemarau. Akan tetapi hingga saat ini langit masih sering mendung dan beberapa kali hujan cuaca Juni yang beberapa tahun ini masih dilanda hujan, aku jadi teringat dan ingin membaca novel pujangga terkenal ini. Apalagi waktu itu aku tak sempat menyaksikan ini berpusat pada hubungan pria Jawa dan gadis campuran Jawa-Manado. Pria Jawa itu bernama Sarwono, dosen muda dan peneliti yang memiliki kulit sawo matang, sederhana, dan berupaya menutupi kondisi tubuhnya yang ringkih. Sedangkan gadis cantik berkulit bening dengan wajah memesona itu adalah Pingkan. Ia juga dosen muda dari fakultas berbeda. Sarwono sejak dulu mengincar adik Toar, sahabatnya, yang sama-sama dibesarkan di Surakarta. 1 2 3 Lihat Hobby Selengkapnya
Judul Hujan Bulan Juni Penulis Sapardi Djoko Damono Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Cetakan Kedua puluh dua, Juli 2021 Tebal 135 halaman ISBN 978-602-03-1843-1 Peresensi Al Fatih Rijal Pratama Novel yang berjudul “Hujan Bulan Juni” merupakan salah satu karya dari maestro sastra Indonesia yakni Sapardi Djoko Damono, yang pertama kali terbit pada tahun 2015 oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama. Sekarang buku tersebut telah dicetak ulang beberapa kali, dalam buku yang saya resensi ini telah dicetak sebanyak dua puluh dua. Novel “Hujan Bulan Juni” ini merupakan interprestasi atau ahli wahana dari antologi puisi yang berjudul “Hujan Bulan Juni” 1994. Setelah membaca novel ini tentu kita akan mengingat akan tiga buah sajak yang berjudul “Aku Ingin.” Sajak ini termuat dalam novel tersebut yang menjadikan romantisme dalam hubungan percintaan antara Sarwono dan Pingkan. Berikut kutipan sajak puisi “Aku Ingin” aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada 1989 Novel “Hujan Bulan Juni” ini menceritakan hubungan asmara antara Sarwono dan Pingkan yang digambarkan secara rinci melalui tingkah laku dalam menjalin sebuah asmara serta saat menghadapi berbagai problem-problem masalah-masalah, red kehidupan. Tak hanya itu saja, dalam novel tersebut juga menceritakan tentang perbedaan hubungan antara Sarwono dan Pingkan yang berbeda agama, suku, adat dan budaya. Dengan diceritakan secara kompleks dan implisit antara permasalahan hubungan keluarga dan cinta yang berjarak. Hubungan tersebut membuat mereka berdua bingung kapan hubungan tersebut berlanjut ke jenjang yang lebih serius, yaitu pernikahan. Awal mula cerita itu, dikisahkan mengenai sosok pemuda yang bernama Sarwono panggilan akrabnya, yang merupakan seorang berdarah jawa yang tinggal di daerah solo. Dia terlahir dalam keluarga yang memiliki kehidupan yang sederhana dengan kebudayaan Jawa, orang tua Sarwono merupakan seorang Pegawai Negeri Sipil. Sarwono adalah seorang antropolog sekaligus dosen muda yang mengajar di program studi antropologi. Sarwono pandai menulis puisi yang kerap dimuat di surat kabar terutama dalam surat kabar Swara Keyakinan. Tulisannya Sarwono juga telah menjadi pengisi tetap dalam media cetak tersebut. Sarwono dalam cerita novel tersebut digambarkan sebagai sosok pemuda yang cerdas, mandiri, saleh, romantis dan bekerja keras. Dikisahkan bahwa Sarwono pertama kali mengenal Pingkan karena dia adalah adik dari temannya yang bernama Toar. Pingkan adalah seorang dosen muda dari program studi bahasa Jepang yang digambarkan sebagai sosok perempuan yang cerdas, ceria, dermawan dan berperilaku baik kepada sekitarnya. Pingkan adalah seorang blasteran antara Jawa dengan Manado. Ayah Pingkan adalah orang Minahasa yang menikah dengan Ibu Hartini, orang Jawa. Hubungan antara Sarwono dan Pingkan seringkali mengalami sebuah problem masalah, red yang disebabkan adanya perbedaan, terutama dalam agama dan adat antara kedua keluarga asmara tersebut. Dimana hal tersebut membuat hubungan mereka menjadi rumit, penuh dilema dan pergulatan batin. Belum lagi kabar mengenai Pingkan yang harus pergi ke Jepang karena mendapatkan beasiswa di Universitas Kyoto. Kabar tersebut telah membuat Sarwono yang awalnya merasa ketakutan dan khawatir, karena kepergian Pinkan di Jepang itu bersama dengan Katsuo Suntoloyo yang merupakan teman dekat Pingkan. Katsuo Suntoloyo seorang dosen Jepang yang pernah menempuh kuliah di Universitas Indonesia atau tempat Sarwono dan Pingkan mengajar. Kepergian Pingkan tersebut juga telah membuat kondisi Sarwono seringkali berhalusinasi, bahkan sampai terbawa mimpi karena Katsuo Sontoloyo ini menaruh hati pada Pingkan. Namun, Sarwono tetap berpikir dengan tenang dan postif karena ia yakin akan kesetiaannya Pingkan kepada dirinya. Permasalahan dalam hubungan asmara kedua tokoh tersebut tidak hanya soal perginya Pingkan, namun juga hubungan antara keluarga Pingkan yang terjadi saat Sarwono berkunjung ke rumah Bibi Henny, tantenya Pingkan. Dalam permasalahan ini menjadi semakin rumit karena keluarga Pingkan juga mendesak Pingkan untuk mau dijodohkan dengan dosen muda yang telah kenal dengannya di Manado, yaitu Tumbelaka. Tak hanya soal perjuangan asmara saja, dalam novel tersebut juga menceritkan perjuangan Sarwono melawan penyakitnya yang dideritanya, yaitu paru-paruh basah atau flek. Sampai pada puncaknya Sarwono mengalami kondisi kritis hingga harus berbaring lemas di rumah sakit. Hal itulah yang telah membuat Pingkan kembali ke Indonesia untuk menjenguk Sarwono sang kekasihnya. Uniknya, novel Hujan Bulan Juni ini memiliki sampul yang elegan dan menarik dengan efek tulisan basah seperti terkena tetesan air. Selain itu, dalam novel tersebut memiliki gaya bahasa indah yang mengalir dalam setiap kalimat yang diungkapkan begitu puitis dan kaya makna. Akan tetapi, dalam novel tersebut juga ada beberapa kelemahan, yaitu penyajian cerita yang masih nanggung atau belum selesai. Dan juga adanya beberapa kalimat dengan penggunaan gaya bahasa yang barangkali susah dimengerti khalayak umum. Sebagai penutup yang mungkin menarik ditulis untuk mengakhiri dari akhir tulisan resensi ini adalah sepenggal kalimat yang saya dapatkan setelah membaca buku antologi cerpen karya Dewi Lestari yang berjudul “Filosofi Kopi” yang berbunyi, “Mencinta tanpa takut kehilangan Cinta.” Editor Munawir Muslih
resensi novel hujan bulan juni